Minggu, 10 Februari 2013

PEMIKIRAN POLITIK: SUTAN SJAHRIR



Oleh: Ganda Kurniawan

Sumber :
Judul Buku : Mengenang Sjahrir
Penulis : H. Rosihan Anwar, editor
Penerbit : PT. GRAMEDIA, Jakarta
Cetakan : Kedua, Desember 1980
Tebal : xxxvi + 311 halaman
Semasa hidupnya Sjahrir adalah toloh yang kontroversial. Banyak yang mengaguminya juga banyak pula yang memusuhinya. Dewasa ini pun agaknya terdapat pandangan-pandangan yang berbeda-beda berhubung dengan pertanyaan : bagaimana pemikiran politik Sutan Sjahrir?.
Dalam karangan ini akan dicoba untuk memberikan tiga hal yang menurut pandangan penulis sangat menonjol dalam hidup Sjahrir dan yang sekarang ini dapat dianggap masih mempunyai arti bagi kita. Yaitu (1) masalah Timur-Barat (2) Sistem demokrasi perlementer dan multipartai (3) Cita-cita sosialisme kerakyatan.
1. Masalah Timur-Barat
Masalah Timur-barat, dalam arti berhubungan antara Barat yang dianggap dinamis dan Timur yang dilihat sebagai statis, merupakan semacam garis merah dalam buku Indonesische Overpeinzingen, yaitu kumpulan renungan Sjahrir yang ditulisnya dalam masa tahanan dan pembuangan Belanda. Sjahrir memang manusia Timur yang sangat dipengaruhi oleh dunia Barat. Perdebatan mengenai masalah Timur-Barat dengan teman-teman sezamannya. Kebanyakan diantara teman-temannya itu melihat adanya perbedaan dan pertentangan yang fundamental antara Barat dan Timur. Mereka itu berkata bahwa Barat adalah individualistis dan materialistis, sedangkan Timur diagungkan sebagai bersifat kekeluargaan dan spiritual.
Sjahrir menyadari bahwa ada kelemahan-kelemahan pokok pada peradaban dan kebudayaan Barat. Kelemahan-kelemahan itu dilihatnya dari dalam. Yaitu sebagai orang yang sepenuhnya menghayati peradaban dan kebudayaan Barat itu. Namun ia mengagumi dinamika Barat dan dia yakin bahwa Timur harus lebih dinamis untuk dapat mengimbangi Barat. Abrat yang dinamis dan timur yang sedang berada dalam proses menuju dinamis itu tidak dipertentangkannya. Dia melihat bahwa baik di Barat yang sedang menjajah maupun di Timur yang sedang dijajah berlangsung perjuangan yang sama yaituperjuangan untuk menegakan kemanusiaan dan keadilan.
Barangkali sikap seperti itulah yang mendorong Sjahrir untuk membuka komunikasi dan membangun jembatan dengan negeri Belanda waktu dia menjadi Perdana Menteri. Agaknya itulah yang menjadi sumber kegagalannya. Sebab yang hendak dicapainya itu tidak cukup jauh bagi banyak orang Indonesia, tetapi terlalu jauh bagi banyak orang Belanda.
Waktu peti jenazah Sjahrir disemayamkan sebentar di Schiphol dalam perjalanan dari Zurich ke Jakarta, maka Prof. Schermerhorn yang menjadi teman dan lawan Sjahrir dalam perundingan antara republic dengan Belanda, berkata kurang lebih bahwa Sjahrir telah terjepit antara golongan kiri di Indonesia dan golongan kanan di negeri Belanda.
Sekarang ini tidak begitu banyak lagi membicarakan masalah Timur-Barat seperti dalam zaman Sjahrir. Timur-Barat sekarang sering digunakan dalam arti ideologis, berbicara mengenai modern dan tradisional. Barat yang modern dulu itu adalah tradisional. Setelah barat yang teradisional itu menjadi modern maka dia mengadakan ekspansi ke seluruh dunia. Yang menjadi rahasia ekspansi barat modern itu buukan kebaratannya melainkan kemoderenannya.
Di Eropa peradaban modern telah lahir dari pangkuan kebudayaan Barat dengan latar belakang filsafat Yunani dan agama Kristen. Bangsa-bangsa di luar lingkungan kebudayaan Barat sedang mengembangkan peradaban modern dengan mengakarnya kepada kebudayaan mereka masing-masing. Dalam proses moderenisasi kebudayaan-kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pertumbuhan.
Apakah yang sedang dan akan terjadi dengan agama-agama yang sejak berabad-abad terrjalin terjalin dengan kebudayaan-kebudayaan itu?. Dan apakah sebanarnya hakekat kemoderenan itu sendiri?
Dengan perkataan lain yang sedang dihadapi kini mempunyai lebih banyak segi-segi dan menyangkut soal-soal yang bersifat lebih fundamental dibanding dengan zamannya Sjahrir.
Sjahrir sadar : “Aku kurang poluler di kalangan nasional dan intelektual Indonesia”. Ini disebabkan oleh yang disebut mereka itu “cenderung ke Barat” dan beberapa orang mengatakan aku “keBelanda-Belandaan”.
Namun pada dasarnya Sjahrir tidaklah cenderung memihak Barat melaikan tetap konsisten pada politik Bebas-aktif. Hal ini dibuktikan ketika ia masih menjabat sebagai PM ikut menyokong dan melahirkan terbentuknya konferensi “Inter Asian Relations Conference” yang diadakan di New Delhi pada bulan april 1947. Konferensi itu pada dasarnya permulaan politik luar negeri RI yang bebas tidak memihak kepada blok-blok.
Persetujuan Linggarjati adalah pengakuan terhadap hak perjuangan bangsa dan rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Negara RI adalah perwujudan dari hasil perjuangan demokrasibangsa dan rakyat Indonesia dalam melaksanakan haknya dalam menentukan nasibnya sendiri., sekalipun kekuasaannya hanya diakui di Jawa dan Sumatera. Kerja sama dengan Belanda adalah untuk melikuidasi kolonialisme Belanda di Indonesia dan mendirikan RI Serikat yang berdaulat meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Waktu Belanda tanggal 21 juli 1947 menyerang Republik, Sjahrir sebagai penasehat Presiden dan selaku duta keliling republik dengan pesawat terbang berangkat ke luar negeri. Pada tanggal 14 Agustus 1947 Sjahrir sebagai wakil RI berbicara dalam siding Dewan Keamanan PBB. Disana ia mengupas politik penjajahan Belanda dan mendesak supaya Dewan Keamanan PBB membentuk suatu badan Arbitrase yang tidak berpihak. Sjahrir dalam forum internasional di Dewan Keamanan PBB, disana ia sekali lagi mempertahankan dan membela kemerdekaan RI seperti yang telah di konsolidasi dalam perjanjian Linggarjati dan diakui oleh dunia Internasional.
2. Demokrasi Parlementer dan Multipartai
Sebagai masalah kedua yaitu yang disebut dengan system demokrasi parlementer dan multipartai. Dalam sejarah Indonesia tindakan untuk mengintrodusir system itu dihubungkan dengan peranan Sjahrir.
Pada waktu itu system itu dianggap lebih demokratis daripada system pemerintahan yang langsung dipimpin oleh presiden dengan partai tunggal, seperti telah diterapkan sesudah proklamasi kemerdekaan. System demokrasi parlementer itu telah diterima sebagai konvensi dan dianggap tidak bertentangan dengan UUD 45. Dibawah UUD RIS dan UUDS RI system itu dilanjutkan. Waktu itu Sjahrir tidak mempunyai peranan politik lagi. Dengan demikian jelas bahwa sekalipun introduksi system itu dihubungkan dengan peranan Sjahrir namun system itu telah mempunyai tempatnya sendiri dalam sejarah Indonesia terlepas dari peranan Sjahrir.
Sekarang ini menyadari bahwa tiap system dan struktur politik itu harus menjalankan fungsi-fungsi (1) menjamin persatuuan, kesatuan, stabilitas dan keamanan (2) mengusahakan pertumbuhan dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lain (3) menjamin martabat manusia dan menyalurkan cita-cita kemanusiaan, seperti keadilan, kebebasan tanggung jawab mengenai hidup Negara dan bangsa yang juga mencakup kebebasan untuk mengkritik dan mengawasi tiap kekuasaan.
Pada taraf tertentu dalam perkembangan Negara-negara Barat modern maka system demokrasi parlementer dengan struktur multipartai telah dikembangkan untuk menjalankan fungsi-fungsi tadi sebaik-baiknya.
Usaha untuk menerapkan system demokrasi parlementer dan struktur multipartai seperti itu tidak memberikan hasil yang diharapkan. Kita tiidak dapat melangkah ke belakang. Masalah yang dihadapi sekarang ialah untuk maju ke depan dan terus mengembangkan system kita yang ada lebih lanjut secara dinamis dan kreatif, agar system itu menjadi makin mampu untuk menjalankan fungsi-fungsi tadi sebaik-baiknya. Salah satu ukuran mengenai kemajuan ialah bahwa titik berat akan makin bergeser ke dalam fungsi diatas yang ketiga.
Sjahrir mengajarkan kepada rakyat tentang demokrasi. Dalam rangka untuk mencegah perang dengan Belanda, Sjahrir mengadakan pidato radio pada tanggal 19 Juni 1947 yang berisi antara lain member konsesi pada Belanda secara yuridis mau mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia selama masa peralihan akan tetapi dengan dalam pada waktu itu mempertahankan kedaulatan RI ke dalam. Baik cabinet maupun partai sosialis dapat menyetujui kebijakan Sjahrir ini. Pertai Sosialis adalah anggota dari Sayap Kiri yang terdiri dari Partai Soislis, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI) dan Pesindo. Sayap Kiri yang secara keseluruhan ada pada umumnya didominasi oleh kaum komunis tidak dapat menerima kebijakan Sjahrir bukan semata-mata atas pertimbangan kebijaksanaan melainkan oleh karena Sjahrir bukan seorang komunis. Ia dinilai oleh Sayap Kiri sebagai orang yang bebas dan tidak tunduk kepada garis Moskow. Dia melakukan pidato tadi dengan tidak melalui persetujuan dari Sayap Kiri. Atas pertimbangan ini Sayap Kiri menolak kebijaksanaan Sjahrir. Oleh karena Sjahrir tidak mendapat dukungan dari Sayap Kiri, maka ia meletakan jabatan sebagai Perdana Menteri. Sebenarnya Sjahrir dengan dukungan Kabinet, Presiden, dan wakil Presiden dapat bertahan sebagai PM dan mengabaikan keputusan Sayap Kiri. Disini Sjahrir harus memilih antara kekuasaan dan demokrasi. Sebagai seorang democrat tulen ia memilih demokrasi dan meletakan jabatannya. Sjahrir meletakan jabatan PM itu sesuai dengan aturan-aturan permainan dan hukum demokrasi.
3. Sosialisme Kerakyatan
Sjahrir meneruskan pendidikan pada Universitas Amsterdam. Setibanya di negeri Belanda dia langsung menghubungi pengururs Amsterdamsche Sociaal Democratische Studenten Club. Rupanya Sjahrir mahasiswa Indonesia pertama yang mencari hubungan dengan perkumpulan mahasiswa sosialis tersebut. Perkumpulan mahasiswa sosialis tersebut adalah suatu organisasi yang bebas dan tidak merupakan bagian dari SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij). SDAP sebagai partai social democrat menentang kolonialismedan menghendaki Indonesia merdeka dengan jalan evolusi. Sebaliknya perkumpulan mahasiswa sosialis yang berhaluan kiri dalam diskusinya tentang kolonialisme berdasarkan ideology Marxisme menentang segala dalam bentuk reformisme.
Setelah Partai Sosialis pecah, maka Sjahrir yang pernah memainkan peranan penting sebagai ketua dari Partai Sosialis yang utuh memimpin Partai sosialis Indonesia. Dalam pemilihan unum 1955 terbukti bahwa Partai Komunis Indonesia mempunyai dukungan yang jauhh lebih luas dibanding dengan Partai Sosialis Indonesia. Kekuatan PKI dan kelemahan Partai Sosialis Indonesia itu telah mempunyai pengaruh besar terhadap perkembngan politik di Indonesia setelah tahun 1955.
Di Eropa Barat dimana Sjahrir bermukim dalam tahun-tahun yang paling menentukan bagi perkembangan pandangan hidupnya, sosialisme lahir sebagai gerakan koreksi terhadap masyarakat yang telah mencapai tingkat industrialisasi yang tinggi dalam rangka system kapitalisme. Sedangkan masalah yang kita hadapi di Indonesia sekarang ini dan di tahun-tahun yang akan datang ialah bagaimana caranya agar dalam pembangunan kita stabilitas politik dan pertumbuhan ekonommi pancasila, termasuk kerakyatan dan keadilan social. Itu berarti bahwa cita-cita sosialisme kerakyatan dapat disalurkan dalam pembangunan yang hendak mengamalkan semua sila dari Pancasila sebagai kesatuan yang utuh melalui perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kita.
Sjahrir mempunyai pemikiran yang kritis, sering sangat kritis terhadap orang-orang lain. Tidak hanya terhadap teman-teman sezamannya tetapi juga terhadap tokoh-tokoh dalam sejarah. Tokoh yang dikaguminya adalah Engels secara dogmatis. Tetapi oleh karena dia melihat Engels sebagai manusia biasa yang dengan jalur berjuang untuk cita-citanya.
Sebagian besar dari kalimat-kalimat yang ditulisnya mengenai Engels dalam Indonesische Overpeinzingen barangkali juga digunakan terhadap Sjahrir sendiri. Sjahrir menulis “Engels (Sjahrir) ini adalah manusia biasa, dengan segi-segi yang baik dan buruk, sama seperti semua manusia yang lain, hanya dengan watak yang kuat, tujuuan hidup yang jelas, rendah hati, berani, intelijen. Dia adalah seorang pejuang, tetapi bukan seorang nabi”.
Jika kita bandingkan dengan Tan Malaka, mereka sama-sama putera Minang. Keduanya beraliran sosialis dan telah melampaui studi serta medan daya pengaruh Hegel dan Karl Marx dalam perkembangan diri serta pandangan politiknya. Dan karena itu mereka sadar, bahwa revolusi nasional hanyalah fase awal saja dan sarana belaka untuk tujuan kemerdekaan yang lebih esensial ialah revolusi social dan mental. Perbedaan satu-satunya sikap dan politik social antara kedua tokoh tersebut ialah: Tan Malaka memiliki Rumus: merdeka adalah merubah dari manusia yang bermental vertical, tahayul, pendewaan segi spiritual yang dicandui impian-impian, dogmatif konservatif, statis, pasif dan serba emosional, menjadi manusia yang madilog (meterialisme, dialektika, logika). Jadi kemerdekaan esensial ada pada mental. Sedangkan Sjahrir melihat kemerdekaan bangsa Indonesia dalam penghayatan pri kemanusiaan dari sila kedua Pancasila, yang mengatasi batas-batas emosional sempit.
Pada pra kemerdekaan Sjahrir menerangkan kepada sastra sebagai berikut.: Revolusi tidak mungkin dilaksanakan sembarang waktu menurut kehendak nafsu si pemimpin yang gila berontak. Kalau memang mau berhasil maka perjuangan harus tertib dan teratur. Untuk itu kita harus berfikir menurut aturan-aturan dan hukum ilmu pengetahuan yang ada sangkut pautnya dengan perjuangan kemasyarakatan. Teori maupun praktek perjuangan mengatur masyarakat di negeri manapun perlu kita pelajari untuk kita pilih manna yang bermanfaat untuk negeri kita.
Revolusi hanya mungkin terjadi bila syarat-syaratnya terpenuhi yaitu syarat-syarat objektif dan subjektif. Syarat objektifadalah ketidak puasan rakyat yang umum merata dalam masyarakat, kakalutan dan lenyapnya disiplin di kalangan aparat pemerintah dan kebingungan tokoh-tokoh yang memerintah, sedangkan syarat subjektif ialah adalah manusia-manusia pejuang yang memperjuangkan perbaikan kemerdekaan itu. Syarat subjektif tersedia tapi jikalau syarat objektif tidak ada maka revolusi tidak mungkin akan terjadi. Begitupun sebaliknya kalau dua syarat tersebut tersedia maka harus diperhitungkan kapan waktunya yang tepat yang disebut dengan waktu psikologis.
Pemberontakan komunis tahun 1926 gagal karena syarat-syarat tersebut belum lagi tersedia.
Sementara menaati berkembangnya saat objjektif dan datangnya saat-saat psikologis, maka kewajiban kita adalah menyusun kekuatan subjektif. Dalam perjuangan kita hanya boleh percaya pada kekuatan dan usaha kita sendiri. Selain dengan itu tidak mungkin sesuatu revolusi buahnya bermanfaat bagi masyarakat banyak kalau didasarkan pada rasa kebencian terhadap manusia. Perjuangan kemerdekaan kita harus dilandasi oleh rasa persaudaraan kemanusiaan. Semangat benci mengamuk serta tindakan pengrusakan dan penyembelihan tidak akan membuahkan hasil yang baik. Tindakan kekerasaan hanya dapat dibenarkan dan dimanfaatkan jika terpaksa untuk membela diri. Yang terpenting dari ajaran Sjahrir adalah ajaran kedaulatan rakyat, ajaran bagaimana seharusnya mengatur Negara sesudah Indonesia merdeka. Tidak cukup dengan asal Indonesia merdeka sambil tidak peduli golongan mana sepatutnya yang mengendalikan pemerintahan. Golongan yang memerintah adalah seahrusnya mereka yang bersemangat kemanusiaan dan kerakyatan. Mereka yang keluar mengusahakan kerjasama persaudaraan antar bangsa, demi membantu usaha ke dalam untuk memajukan dan memakmurkan seluruh rakyat. Pemerintah harus dipilih secara berkala oleh rakyat yang berdaulat dan yang berkuasa, jadi bukan kepada seorang raja atau ratu, bukan kepada sekelompok kaum ningrat, kaum intelek atau sekelompok hartawan kapitalis.
Perjuangan yangdiperjungkan oleh Partai Sosialis Indonesia adalah sosialisme yang berdasarkan pada kerakyatan yaitu sosialisme yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat setiap manusia perorangan. Sosialisme semestinya tidak lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan yaitu kemerdekaan dan kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya, pada mana seharusnya tiap manusia merdeka untuk mengembangkan kehidupannya serta kesanggupan yang ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan dimana hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebijakan dan keindahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar