Makalah Pemikiran Politik Indonesia
Pemikiran Politik Indonesia Sebelum Merdeka ( Sutan Sjahrir)
OLEH:
Daen Manala Deppalangge
E111 11 263
ILMU
POLITIK
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLIITIK
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
Makassar
2013
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat
dan limpahan rahmat-Nya
lah
maka saya boleh menyelesaikan sebuah makalah
ini.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Pemikiran Politik Indonesia Sebelum Merdeka”,.Makalah ini menurut saya sangat membantu kita dalam mengetahui situasi politik pada saat Indonesia masih dalam situasi yang masih memprihatinkan di jajah oleh bangsa lain,melalui pemikir-pemikir politik pada saat itu.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Tuhan Yang penuh Karunia memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Pemikiran Politik Indonesia Sebelum Merdeka”,.Makalah ini menurut saya sangat membantu kita dalam mengetahui situasi politik pada saat Indonesia masih dalam situasi yang masih memprihatinkan di jajah oleh bangsa lain,melalui pemikir-pemikir politik pada saat itu.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Tuhan Yang penuh Karunia memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Penyusun
Makassar, 07 Februari 2013
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul
Kata
Pengantar…………………………………………………………………1
Daftar
Isi………………………………………………………………………...2
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang…………………………………………………………….3
B.
Rumusan
Masalah…………………………………………………………3
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pemikiran Politik……………………………….…………………….4
B.
Periode Perajalanan Politik Indonesia……………………………………………4
C.
Pemikiran Politik Sutan Sjahrir…………………………………………………..7
BAB
III PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Pada dewasa ini kita sudah banyak melupakan sejarah tentang bangsa kita
sendiri.Khususnya dalam perjalan kehidupan bangsa Indonesia dalam bidang
Politik.Politik merupakan sesuatu yang tidak bisa lepas dari setiap
Negara,begitu halnya dengan Negara republic Indonesia.Dalam perjalanannya
Indonesia telah mengalami banyak hal dalam bidang politik.mulai dari sebelum
dan sesudah bangsa Indonesia merdeka.
Proses sejarah politik di Indonesia tidak bisa di lepaskan dari para
tokoh-tokoh pemikir politik yang ada dan hidup pada awal sebelum Indonesia
merdeka.para tokoh-tokoh inilah yang menjadi pionir terbentuknya Negara ini.
Mereka telah banyak menyumbangkan buah pemikirannya dalam mewarnai dunia
perpolitikan Indonesia yang dengan tujuan untuk membentuk suatu Negara yang
bebas dari penjajahan dari bangsa lain,yaitu Negara Republik Indonesia.
Penulis menjadikan “Pemikiran Politik Indonesia Sebelum Merdeka”
sebagai judul karena merupakan suatu instruksi dari dosen dalam memenuhi
tugas yang diberikan.Penulis merasa sangat perlu mempelajari pemikiran politik
Indonesia sebelum merdeka karena pada saat itulah kita dapat mengetahui sampai
sejauh mana dan bagaimana landasan pemikiran politik para tokoh pendiri bangsa
ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah itu Pemikiran Politik?
2.
Periode-Periode Perkembangan Perpolitikan di Indonesia
3.
Menelaah Pemikiran Politik Sutan
Sjahrir
BAB 2
ISI
A. Pengertian Tentang Pemikiran Politik
Budaya berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga
didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang
apabila digabungkan menghasilkan arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi
tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan
pemikiran politik dan sistem politik yang dianut suatu negara beserta semua
struktur dan fungsi (interkasi dan tingkah laku) yang terdapat di dalamnya.
B. Proses Perjalanan Perpolitikan di
Indonesia
Secara garis besar
perpolitikan di Indonesia dibagi menjadi 3 periode yaitu : Periode pemikiran
politik tradisional, pemikiran politik pada masa pergerakan, dan pemikiran
politik pada masa sesudah kemerdekaan.
Ø PERIODE PEMIKIRAN POLITIK
TRADISIONAL
Jauh
sebelum politik pada dunia modern dikenal, kita telah mengenal
pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan politik terlepas sesuai dengan
teori yang berlaku sekarang atau pun tidak. Pemikiran itu sudah ada terlihat
dari sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia baik
kerajaan kecil maupun besar diantaranya : Kutai di Kalimantan di abad ke 5,
Melau di Sumatra dan Kalinga di Jawa di abad ke 7, Sriwijaya di abad ke 5
sampai abad ke 10, Majapahit di abad ke 13 dan Aceh di abad ke 16-17 dan
sebagainya.
Koentraraningrat
menyebutkan Yang menjadi ciri periode politik tradisional adalah Kepemimpinan
masyarakat tradisional kesatuan-keasatuan sosialnya yang mempunyai bentuk
kepemimpinan masyarakat negara kuno, dengan penduduk ribuan atau puluhan ribu
orang, membutuhkan syarat kempemimpinan yang tidak cukup hanya kewibawaan saja
melainkan juga harus memiliki kepandaian dalam berbagai aspek kehibupan.
Koentjaraningrat menyebut syarat-syarat kepemimpinan dalam kerangka ini adalah
: kharisma, kewibawaan (Popularitas, kapasitas, kecendekiwanan), wewenang
(dengan legitimasi melalui prosedur adat atau hukum setempat) dan kekuasaan
dalam arti khusus dan syarat yang dibutuhkan seperti seorang raja.
Salah
satu budaya politik yang berkembang pada budaya politik tradisional adalah
paham kekuasaan religius, Frans Mangnis Suseno menyebutkan Inti paham kekuasaan
religius ialah bahwa hakikat kekuasaan disini kekuasaan politik, bersifat
adiduniawi dan adimanusiawi. Berasal dari alam ghaib atau termasuk yang ilahi.
Raja merupakan medium yang menghubungkan mikrokosmos manusia dengan mikrokosmos
Tuhan. Contoh kongkret paham kekuasaan religius ada pada kekuasaan yang dulu
hidup pada masyarakat Jawa. Kekuasaan dianggap sebagai ungkapan energi halus
alam semesta dan salah satu bentuk operasional tenaga gaib alam semesta
sendiri. Dalam kerangka itu penguasa dapat dipahami sebagai manusia yang mampu
menyadap kekuatan-memuatan yang ada di alam semesta ini. Ia seakan-akan mampu
mengontrol kekuatan-kekuatan kosmis yang menyatakan diri dalam wilayah
kekuasaannya.
Kekuatan
batin penguasa berpancaran sebagai wibawa kedalam masyarakat. Masyarakat dapat
merasakannya. Penguasa dianggap memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Kekuatan
ini ditandai dengan terjadinya keselarasan yang terjadi antara semua kekuatan
yang bekerja pada suatu wilayah, baik faktor sosial maupun alam. Keselarasan
sosial tercapai bila negeri aman sentosa dan tidak terdapat keresahan pada
masyarakat, keselarasan dengan alam bila lahan pertanian subur dan hasil
pertanian melimpah ruah serta tidak terjadi bencana dan hama pertanian.
Dalam
kekuasaan Jawa unsur-unsur kekuasaan seperti fisik, militer, kapabilitas,
kepintaran memang juga penting tetapi tidak menentukan. Selain keselarasan
kekuasaan dengan paham religius juga sangat tergantung dengan sikap batin orang
yang bersangkutan dan tergantung pada keluhuran budinya. Ia harus Sepi ing
pamrih tidak terikat dengan hawa nafsu dan kepentingan dunia, ia harus bersih
dari angkara murka supaya dapat menjadi heneng, hening, hawas dan heling (diam,
jernih, awas dan ingat). Dan memiliki semboyan ”sugih tana benda, digjaya tanpa
aji, unggul tanpa bala, menang tanpa ngasorake” (Kaya tanpa benda, tak
terkalahkan tanpa senjata, unggul tanpa tentara, menang tanpa merendahkan).
Ciri-ciri ini akan dimiliki oleh raja apabila ia adil tanpa pilih kasih, budi
pekerti dan wicaksana.
Legitimasi
kekuasaan relegius tak membutuhkan legitimasi rakyat karena Tuhan tidak
membutuhkan legitimasi dari manusia, legitimasi pada paham religius tidak
bersifat etis tetapi bersifat religius dengan unsur : tingkat kesaktian,
pemerintahan adil makmur dan tentram, keluhuran budinya. Ia harus Sepi ing
pamrih tidak terikat dengan hawa nafsu dan kepentingan dunia, ia harus bersih
dari angkara murka supaya dapat menjadi heneng, hening, hawas dan heling, (
diam, jernih dan awas, ingat ).
Ø PEMIKIRAN POLITIK PADA
MASA PERGERAKAN
Pemikiran
pada masa pergerakan kemerdekaan beberapa tokoh meuncul dalam upaya kemerdekaan
Indonesia, diantara tokohnya yaitu : Sukarno, Mohammad Hatta, Natsir, Sutan
Syahrir & Tan Malaka. Para tokoh inilah yang mewarnai aktivitas politik
pada masa pergerakan. Pemikrian politik yang paling dominan pada masa
pergerakan adalah pemikiran sosialisme demokrat yang pada waktu itu wacana
sosialisme demokrat di gagas oleh Soetan Syahrir dan mohammad Hatta dalam wadah
Partai Sosial Demokrat ( PSI ) pada waktu itu.
Aliran
Sosialisme Demokrat mempunyai perbedaan dengan sosialis di Indonesia lainnya,
perbedaan terletak pada besarnya perhatian partai ini terhadap kebebasan
individu, keterbukaan terhadap arus intelektual dunia dan penolakan terhadap
obsercruantisme, chauvinisme, dan kultus individu. Pada tahun 1932 Syahrir dan
Hatta sekembalinya dari luar negeri mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia,
badan ini mengabdikan diri pada strategi pembentukan kader politik yang matang,
yang dapat berdiri sendiri dan dapat meneruskan kegiatan nasionalis meskipun
para pemimpinya tersingkir, dan terbukti pada tahun 1934 dua tahun setelah PNI
didirikan Syahrir dan Hatta di tangkap dan dibuang ke Indonesia Timur, dan baru
di bebaskan beberapa saat menjelang serbuan jepang.
Syahrir
dan Hatta pada masa pendudukan Jepang memiliki jalan yang berbeda, Hatta dan
Soekarno bekerja sama dengan Jepang, sedangkan Syahrir memimpin suatu
organisasi bawah tanah untuk melawan mereka. Ketika Jepang menyerah kalah
setelah proklamasi kemerdekaan Sekutu menunjuk Syahrir sebagai perdana menteri
mulai November 1945 sampai Juni 1947.
Sampai
awal tahun 1950an PSI tetap menjadi salah satu kekuatan politik yang penting,
dan namanya cukup berwibawa di luar negeri, tetapi di Indonesia sendiri
pengaruh partai ini lama-lama berkurang. Partai ini lebih banyak menarik para
cendikiawan di banding dengan partai-partai lainnya dan sering memegang peranan
penting dalam perdebatan-perdebatan politik. Tetapi pada akhir lima puluhan PSI
mendapat banyak kritikan karena tidak mengakar ke rakyat. Ketika presidan
soekarno menetapkan demokrasi terpimpin Pandangan Bung Hatta berasal dari berbagai
tulisan dan pidato beliau sewaktu di Eropa yang bermaksud untuk memperkenalkan
Indonesia tentang cita-cita kebangsaan, penderitaan rakyat banyak, kekejaman
perlakuan pemerintah Belanda terhadap rakyat dan pergerakan kebangsaan dan
cara-cara yang menurutnya perlu dilakukan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan
itu.
Pemikiran-pemikiran
beliau untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan kolonialisme
belanda adalah :
1. Non-koperasi,
menurut Hatta cara inilah satu-satunya yang harus ditempuh untuk mencapai
kemerdekaan, bagi Hatta non-koperasi berarti antara lain menolak duduk dalam
dewan-dewan perwakilan yang didirikan oleh pihak kolonial, baik dipusat maupun
di daerah Non koperasi juga berarti menolak bekerja di lingkungan pemerintahan
kolonialisme.
2. Percaya
Pada Diri Sendiri, untuk bisa melawan organisasi dan kekuatan kolonialisme
perlu dibangun rasa keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri. Kepercayaan
pada diri sendiri yang semakin terkikis oleh kebijakan represif kolonialisme Belanda,
rakyat telah lama kena pukau ketidakmampuan dirinya, kata Hatta. Ini harus
dibalikan, harus percaya tentang kemampuannya.
3. Persatuan,
persatuan yang mempersatukan segenap kekuatan dalam melawan kekuatan penjajah,
untuk itu menurut Hatta perlu lebih dahulu aksi massa, pembentukan kekuasaan
yang bisa dicapai lewat propaganda untuk menegakan persatuan dan solidaritas,
kepercayaan diri dan kesadaran diri.
Ø PEMIKIRAN
POLITIK SETELAH MASA KEMERDEKAAN DAN SAAT INI
Menurut
Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku ”Pemikiran Politik Indonesia
1945-1965”. ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di
Indoensia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme
demokrat, dan komunisme.
Aliran
pemikiran ini dalam pemilu 1955 direfleksikan melalui partai-partai peserta
pemilu, diantaranya komunisme diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI),
nasionalisme radikal (PNI), Islam (Masyumi, NU), tradisionalisme Jawa (PNI, NU,
PKI), dan sosialisme demokrat (PSI, Masyumi, PNI).
Aliran
pemikiran tersebut pada pemilu 2004 warna ideologi kepartaian di Indonesia
tinggal dua corak. Yakni, nasionalis yang direpresentasi PDI-P, Partai
Golkar,dan Partai Demokrat, dan partai lain. Kedua, Islam yang diwakili PPP,
PBB, PKS, dan partai lain.
Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila.
Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila.
Sosalisasi
ini jika kalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan
nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari
penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang
berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup
lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya
pembudayaan.
Dua
faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri
seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya
dengan baik.n Kedua faktor itu adalah:
1. Emosional
psikologis, factor yang berasal dari hatinya.
2. Rasio,
factor yang bersal dari otaknya.
Jikalau
kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai
Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan
sendirinya.
Tentu
saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan
dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung
secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya
membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah
pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini
berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan
kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang
berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang
ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya
yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia
yang lebih Pancasilais.
Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman
dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang
menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan
dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang
ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.
C.
Pemikiran Politik Sutan Sjahrir
A. Awal Karir Politik Sjahrir
Sutan
Sjahrir salah satu pemikir Indonesia yang mungkin hampir dilupakan juga oleh
generasi muda Indonesia. Tokoh ini adalah salah satu dari tujuh “Bapak Revolusi
Indonesia”. Dia mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan
kemerdekaan, walau ia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Ideologinya
sangat konsisten yakni antifasisme dan antimiliter. Namun sebelum lebih dalam
untuk menceritakan lebih dalam kerangka pemikiran politik Sjahrir hingga begitu
popular dan menjadi perdana menteri. Sebelum lebih dalam mengamati alam
pemikiran sosialisnya, ada baiknya menceritakan sedikit kronologis sejarah
kehidupan Sjahrir hingga meninggal dalam pengasingan. Sjahrir menjadi pahlawan
revolusioner yang gugur dalam kesepian akibat tersingkir karena politik.
Sutan
Syahrir yang lahir 5 Maret 1909, dan di besarkan dalam lingkungan keluarga
menengah karena ayahnya Muhammad Rasyad menjadi jaksa tinggi. Medan adalah kota
kenangan Sjahrir kecil, di daerah kelahirannya Padang Panjang, Sumatera Barat,
Sjahrir hampir tidak ada kenangan di daerah tersebut. Usianya baru menginjak
setahun harus pindah ke Jambi mengikuti jejak sang ayah, hingga umur empat
tahun, setelah itu Sjahrir pindah ke Medan. Sjahrir beruntung mampu mengenyam
pendidikan di tengah perkembangan politik etis Belanda. Sehingga ia mampu masuk
ke Europeesche Lagere School (ELS). Lulus dari ELS, Syahrir melanjutkan
pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), lalu mengambil jurusan
Barat Klasik di Algemene Middelbare School (AMS), yang diharapkan Sjarhrir muda
menjadi jaksa seperti ayahnya. Pada tahun 1929, ia melanjutkan studinya di
Belanda, namun studinya tidak teratur, karena lebih menghabiskan waktu untuk
berdiskusi dengan klub mahasiswa sosial demokrat Belanda, De Socialist.
Sjahrir memiliki banyak teman termasuk pemuda dan noni-noni Belanda yang suka
mengundangnya berpesta. Ia mahir dalam berdansa waltz, fox trot, dan
Charleston. “Sjahrir tidak membenci orang Belanda, yang dibenci adalah
paham imperialisme dan kolonialismenya. Kemudian studinya pun tidak selesai
karena pada tahun 1931 ia dipanggil Hatta sebagai sahabat tua untuk bergabung
dalam organisasi politik yang secara mendadak untuk kembali ke Indonesia.
Sjahrir
22 tahun, mengalah untuk menuruti seniornya Mohammad Hatta yang berumur 29
tahun, untuk bergabung dengan Perhimpunan Indonesia dan teman diskusinya De
Socialist. Meski belum menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universteit van
Amsterdam, ia akan pulang ke Tanah Air. Tapi Hatta menyelesaikan kuliahnya di Fakultas
Ekonomi di Universteit Rotterdam yang sudah 9 tahun di Belanda. Kembalinya
Hatta dan Sjahrir dipicu keadaan genting akibat Soekarno dan tokoh PNI banyak
ditangkapi oleh Belanda. Situasi demikian bisa menyiratkan sinyal menyurutkan
kaum muda Indonesia untuk berjuang.
Nasionalisme
Hatta dan Syahrir memang sudah menjadi tokoh utama di kalangan nasionalis.
Selain paham ini tumbuh akibat keadaan politik Indonesia sebagai negara
terjajah oleh kolonialisme, semangat ini tumbuh oleh pidato Dr. Cipto Mangunkusumo.
Dua tokoh Sjahrir dan Hatta menghidupkan kembali PNI yang sempat “mati suri”
pada kongres di Bandung, Juni 1932, Hatta sebagai ketua, dan Sjahrir sebagai
wakilnya. Namun gerakan politik Hatta dan Sjahrir melalui PNI baru justru lebih
radikal, daripada PNI Soekarno, yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa
adanya aksi massa dan agitasi, organisasi PNI Hatta dan Sjarir menjadi
organisasi mendidik kader-kader pergerakan. Akibat pergerakannya yang radikal,
pada Februari 1934 pemerintah kolonial Belanda menangkap dua tokoh ini dibuang
ke Boven Digul Papua. Beruntung dia tidak lama tinggal di Boven Digul, karena
pemerintah Belanda tidak ingin tokoh ini mendapat tekanan keras akibat
penanahannya. Sebab akan menimbulkan masalah kemudian hari, kritik sudah tentu
bermunculan. 2 Januari 1936, tokoh ini pindah ke Banda Neira Maluku, tapi
penahannya lebih layak dan manusiawi.
Syahrir
baru bebas setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942. Ia dan
tokoh lainnya didesak melanjutkan perjuangan untuk memerdekakan Indonesia
melalui gerakan perlawanan di bawah
tanah. Setelah Indonesia merdeka, Syahrir menduduki
jabatan perdana menteri pada Kabinet Parlementer sampai tahun 1946. Pada
saat itu, kemerdekaan RI belum diakui karena dianggap oleh Sekutu sebagai
pemberian Jepang. Oleh karena itu Syahrir memilih jalan diplomasi untuk
mempertahankan kemerdekaan. Menurut Syahrir, menggelar perjanjian dengan
Belanda memiliki keuntungan politis untuk memperoleh pengakuan kekuasaan de
facto. Perjanjian Linggarjati yang dikecam oleh beberapa tokoh bangsa
seperti Tan Malaka, dapat memberi keuntungan bagi Indonesia karena
berkat pasal arbitrase yang ia tambahkan pada perjanjian tersebut
Indonesia diakui PBB. Syahrir pun mulai mengenalkan Indonesia di
forum-forum internasional seperti pada Konferensi Asia.
Setelah
kemerdekaan Indonesia benar-benar diakui oleh Belanda, namun ia tidak
lagi menjabat sebagai perdana menteri, Syahrir mendirikan Partai
Sosialis Indonesia dan melanjutkan pendidikan kader demi memajukan
bangsa. Namun, Syahrir gagal dalam pemilihan 1955 karena partainya hanya
meraih lima kursi di DPR. Kegagalan itu menyebabkan ia
kehilangan kesempatan untuk terjun kembali dalam pemerintahan. Pada tahun 1960,
atas tuduhan gerakan Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia / Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), PSI
dibubarkan dan Sutan Syahrir ditangkap. Gerakan pemberontakan ini sebenarnya
dilakukan oleh Sumitro (Ayah Mantan Jenderal Prabowo Subianto yang sekarang
menjadi Ketua Umum Gerindra), dan pemberontakannya bukanlah prakarsa Syahrir.
Tapi meninggal 6 tahun kemudian, masih sebagai tahanan politik.
B. Pemikiran Sosialisme
Sjahrir
Syahrir
menaruh minat pada pemikiran sosialisme, namun dalam sejarah Indonesia Sjahrir
adalah eksponen utama garis ideologis yang dapat disebut perpaduan antara
tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Sebagai sosial demokrat, ia merupakan
tokoh gerakan buruh yang andal, dan menaruh perhatian besar terhadap pendidikan
rakyat. Ini terlihat pada aktivitasnya pada Sekretariat Federasi Buruh Transpor
Internasional. Hal ini membuat ia dapat mengenal kehidupan kaum buruh lebih
dekat. Sementara liberalisme terlihat antara lain dalam perhatiannya yang besar
pula terhadap masalah perlindungan hak-hak individu dari tirani negara. tak
mengherankan bila ia menjadi musuh besar fasisme, baik yang berasal dari luar
maupun dalam negeri.
Dalam
melakukan perjuangan kemerdakaan dan turut serta memimpin Indonesia,
Syahrir meyakini ideologi sosialisme demokrasi mampu membangkitkan dan
sebagai jalan tepat bagi rakyat Indonesia. Ia menjunjung tinggi kepentingan
rakyat dengan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia. Dengan alasan itulah
ia tidak bertumpu pada model pembangunan komunis seperti di Rusia dan Cina.
Syahrir mengkritisi komunisme sebagai ideologi yang mengkhianati sosialisme
karena mengabaikan kemanusiaan. Ia melihat bahwa kaum komunis telah
menghancurkan semangat nasionalisme, walaupun mereka dituntun oleh ajaran Lenin
dan Stalin tentang perjuangan kelas dan kesusilaan kelas. Syahrir
ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat yang bersifat adil dan merata. Ia
berupaya menghilangkan bentuk penindasan terhadap buruh dengan memperjuangkan
nasib buruh melalui partai yang didirikannya pada tahun 1948, Partai Sosialis
Indonesia.
Menurut
Syahrir, paham sosialisme yang ia yakini untuk mencapai kesejahteraan
rakyat sejalan dengan adanya demokrasi. Pada tulisannya yang
berjudul Perdjoeangan Kita, ia menyatakan bahwa untuk
membina kekuatan Indonesia, revolusi kerakyatan atau revolusi sosial harus
dilaksanakan agar pimpinan politik tidak dikuasai oleh orang-orang yang
berpikiran feodal. Feodalisme dianggap dapat bersekutu dengan fasisme yang
hanya akan menghambat demokratisasi negara. Saat menjadi perdana menteri pada
tahun 1945, Syahrir mengambil kebijakan untuk mengubah sistem presidensial
dengan sistem parlementer. Melalui sistem parlementer yang menghadirkan
wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif, Syahrir berharap partisipasi rakyat
bisa maksimal dan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. Ia pun memfungsikan
aparat negara seperti polisi dan petugas agrarian untuk mempertegas sistem
demokrasi.
Sosialisme
dan demokrasi yang diyakini Syahrir juga mementingkan
aspek rasionalitas. Tampaknya aspek ini sejalan dengan anggapan
Syahrir tentang pengutamaan pendidikan. Rasionalitas berarti berpikir dan
bertindak sesuai hukum akal budi. Rasionalitas berkaitan dengan cara berpikir
yang menjauhkan perasaan dan emosi, walaupun itu tidak berarti perasaan harus
dihapuskan secara total. Emosi yang perlu dihindari terbatas pada
perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai kebutuhan
perjuangan. Dengan rasionalitas, seseorang dapat memberikan penilaian pada
situasi yang sedang dihadapinya dengan tepat, sehingga ia dapat mengambil
tindakan yang sesuai. Pengembangan rasionalitas menurutnya dihambat oleh
feodalisme dan mistik. Oleh karena itu, pendidikan perlu dilaksanakan agar
feodalisme dapat diberantas dan demokrasi berdiri kokoh.
Pemikiran
Syahrir dan sikap-sikap politiknya memang berorientasikan
Barat. Pengalaman studinya di Belanda telah membuatnya berkembang di iklim
Barat. Syahrir cenderung menyukai kehidupan Barat yang dinamis dan bergelora.
Baginya, kedinamisan itulah yang dibutuhkan bagi Timur untuk melepaskan diri
dari imperialisme. Menurutnya, gambaran Timur yang tenang dan harmonis, seperti
yang dilihat oleh orang-orang Buddhis tidaklah sesuai kenyataan. Hong
Kong, Shanghai dan Batavia misalnya, tempat-tempat
tersebut telah dipengaruhi gaya hidup Barat yang mendesak
maju. Dengan kata lain, Syahrir menganggap masyarakat Timur
seperti Indonesia perlu melakukan modernisasi.
Sebagai
elit politik, Sutan Syahrir berusaha membentuk suatu masyarakat politik dengan
mengutamakan pendidikan. Pemikirannya ia sebarkan melalui
media massa dan ia wujudkan melalui PSI. Semasa menjabat sebagai
perdana menteri, Syahrir mengembangkan sistem demokrasi politik untuk
memperjuangkan ideologi sosialisme demokrasinya. Kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif masing-masing berfungsi dan kedudukan yang satu bebas
dari yang lain. Partai-partai politik bebas untuk mengemukakan pendapat karena
merupakan sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Syahrir
juga menyadari bahwa kesenjangan masyarakat dapat menghambat demokrasi politik.
Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pemerataan kesejahteraan, salah
satunya dengan gerakan memperjuangkan buruh dan melindungi hak-hak individu
dari tirani negara.
Sutan
Sjahrir menekankan secara jelas tujuan dan strategi kaum sosialis berbeda
dengan kaum komunis. Diktator Proletar sebagai sebuah tahapan revolusi bagi
kaum komunis, buat kaum sosialis merupakan bentuk kediktatoran yang melanggar
prinsip-prinsip demokrasi.
Namun
Sjahrir sempat dikritisi oleh anggota partainya perihal keputusannya untuk
menjadikan PSI sebagai partai kader sehingga tidak dapat bersaing dengan
partai massa seperti Partindo pimpinan Soekarno. Ia menjawab bahwa
partai tidak memerlukan banyak anggota karena dibandingkan
jumlah massa yang banyak, Syahrir lebih mementingkan kualitas kadernya
yang militan, dapat menguasai keadaan dan memahami teori-teori perjuangan.
Pendidikan kader yang Syahrir utamakan bertujuan untuk mempersiapkan
manusia-manusia arif yang dapat memutar roda kehidupan, yang dapat
memimpin Indonesia dengan baik.
C. Demokrasi
dan Sosialisme
Dalam kaidah ilmu
pengetahuan mengenai kenegaraan, pencapaian cita-cita akan masyarakat Indonesia
yang adil, makmur, tanpa eksploitasi manusia dan sumber daya alam seperti yang
tersirat dan tersurat di dalam konstitusi, hanya dapat diwujudkan melalui
sebuah jalan yang disebut sosialisme. Kedaulatan rakyat tanpa sosialisme tidak
akan dapat mewujudkan keadilan sosial. Sedangkan sosialisme tanpa demokrasi
adalah kediktatoran, yang berarti masih terdapat penindasan manusia. Dengan
kata lain, sosialisme menekankan dan memperjuangkan demokrasi di segala bidang
kehidupan masyarakat, sebagai prakondisi terciptanya masyarakat sosialis yang
sejahtera dan berdaulat penuh. Dalam konteks ini, demokrasi politik adalah
pintu masuk ke arah pengembangan demokrasi di bidang lain yang lebih mendasar
sifatnya, seperti demokrasi ekonomi dan demokrasi pendidikan.
Membangun masyarakat
sosialis suatu bangsa harus diletakkan pada konteks historisnya, berdasarkan
situasi riil yang dihadapi dan sangat tergantung pada tingkat perkembangan
masyarakat suatu bangsa. Seperti yang sering dikatakan para pemikir sosialis di
dunia, tidak ada model yang baku dalam mengimplementasikan sosialisme di setiap
Negara, yang masing-masing memiliki perbedaan karakteristik dan kultur. Indonesia
adalah bangsa yang terdiri dari beragam kultur dan karakter geografis yang
unik. Sejarah panjang bangsa yang hidup di bumi Indonesia ini terdiri dari
banyak kebudayaan dan etnis yang beragam. Kebudayaan-kebudayaan tersebut tumbuh
dalam sistem monarki yang antara lain berbasis Hinduisme, sedikit Buddhisme,
animisme dan agama Islam, yang tersebar di seluruh kepulauan dalam teritori
Indonesia.
D. Sosialisme
Kerakyatan
Berkembangnya
sosialisme di Eropa pada mulanya adalah merupakan gerakan buruh, yang muncul
akibat terjadinya penindasan masyarakat kelas dominan atau pemodal terhadap
masyarakat kelas pekerja. Sedangkan sosialisme di Indonesia tumbuh dalam
masyarakat feudal yang kurang dapat menerima ide pertentangan kelas. Munculnya
sosialisme di Indonesia adalah lahirnya perlawanan kepada sejarah feudalisme
dan birokrasi feudal yang diciptakan pada era kolonial. Faktor kebudayaan yang
cenderung feudal dalam karakter Bangsa Indonesia menyebabkan masyarakat justru
terbiasa dengan struktur masyarakat dengan kelas bertingkat, dan oleh karenanya
tidak mampu menyerap substansi ajaran sosialisme Marxis yang mengedepankan
pertentangan kelas. Walaupun demi pencapaian cita-cita bangsa ini tetap
memerlukan proses revolusi diktum nilai-nilai secara kognitif, namun untuk
mengakomodir karakteristik rakyatnya, Indonesia perlu mengembangkan sistem
sosialisme sendiri yang berpihak pada kerakyatan dan kemanusiaan.
Dari kondisi-kondisi
tersebut, nyata terlihat bahwa prioritas obyek awal revolusi di Indonesia
adalah kesadaran manusia-manusia yang menjadi rakyatnya. Kesadaran ini bukan
hanya tentang kemanusiaan, tetapi kesadaran untuk berpikir secara rasional,
kritis dan berdaulat. Yaitu kedaulatan di semua bidang kehidupan, kesamaan
kesempatan serta kedudukan bagi seluruh rakyat, dan mengedepankan hak-hak
rakyat di atas segala kepentingan golongan atau individu. Dalam hal ini,
terlihat perlunya penegasan bahwa sosialisme yang paling ideal bagi
karakteristik dan psikografis rakyat Indonesia adalah sosialisme yang berpegang
pada asas persamaan derajat manusia, tanpa memandang perbedaan suku, agama atau
kelas social, yang oleh Soetan Sjahrir disebut dengan Sosialisme Kerakyatan.
Kerakyatan di sini mengandung makna perjuangan mengangkat nasib, martabat dan
harkat kaum yang lemah dalam posisi sebagai bangsa yang berdaulat.
E. Mengembalikan
Tujuan Negara
Ketika kegiatan yang
berlangsung telah mencapai taraf kemandirian dan kematangan masyarakat luas
secara ekonomi, social dan politik, maka tunailah revolusi kesadaran di
masyarakat. Pada saat itu, kondisi politik dan ekonomi dunia sangat menentukan
langkah berikutnya. Pada suatu kondisi tertentu, pencapaian gerakan masyarakat
sudah cukup untuk mengambil alih jalannya roda pemerintahan secara demokratis,
tanpa revolusi fisik. Kondisi yang dimaksud adalah melemahnya Negara-Negara
pemain utama dunia, dan berkurangnya ketergantungan Indonesia atas bantuan atau
dukungan produksi dari luar. Dalam kondisi tersebut, rakyat yang telah memiliki
kesadaran serta wawasan yang cukup akan memiliki juga kekuatan politik yang
signifikan. Rakyat tersebut akan sanggup mengembalikan cita-cita berdirinya
bangsa ini ke tempatnya semula, yaitu membentuk suatu Pemerintahan yang
melindungi segenap rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraannya,
mencerdaskannya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
F.
Tujuan Berdirinya Republik
Indonesia
Tujuan
NKRI ini didirikan, yang secara resmi dicantumkan dalam konstitusi negara
sebagai kontrak sosial institusi negara dengan seluruh entitas bangsa, adalah
untuk membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap rakyatnya, memajukan
kesejahteraan rakyatnya, mencerdaskan rakyatnya, serta mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat negerinya. Dalam mencapai tujuan ini, telah
disepakati dalam konstitusi tersebut untuk menempuh sebuah jalan yang pada
dasarnya bertumpu kepada konsep Kedaulatan Rakyat, atau yang umum disebut
dengan demokrasi. Baik dalam hal politik maupun ekonomi, jalan yang disepakati
para pendiri untuk ditempuh oleh Negara adalah Kedaulatan Rakyat, atau
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ketika mendirikan Negara ini, semangat
para pendiri adalah menumbuhkan demokrasi berdasarkan ikatan solidaritas
kolektif untuk merdeka dan keutamaan partisipasi politik rakyat yang jauh dari
sistem ekonomi kapitalisme. Semangat Negara untuk berperan aktif, tidak saja
dalam wilayah politik namun juga sosial ekonomi untuk memenuhi hajat hidup
warganegaranya.
Definisi demokrasi
politik yang dijabarkan dalam konstitusi tersebut mengacu kepada suatu sistem
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Merujuk kepada
definisi itu, makna dari demokrasi ekonomi adalah suatu sistem ekonomi, dimana
permasalahan produksi adalah diselenggarakan oleh rakyat dan untuk rakyat, dan
karenanya mengandung pengertian partisipasi dan pemerataan. Secara umum,
demokrasi ekonomi itu mencakup aspek akses terhadap sumber daya ekonomi, aspek
tingkat pendapatan masyarakat, dan aspek partisipasi kaum pekerja dalam
kegiatan ekonomi. Dengan mengacu kepada tujuan berdirinya Negara Kesatuan ini,
maka terdapat pengertian bahwa nama Republik Indonesia adalah sebuah sebutan
bagi pencapaian cita-cita kesejahteraan segenap rakyat didalamnya, berdasarkan
kedaulatan rakyat yang berkeadilan sosial.
Pandangan Politik pada fase
selanjutnya, dengan kekuatan diplomasi Sutan Sjahrir membawa Indonesia sejajar
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sutan Sjahrir menyadari sebuah negara baru
merdeka, dan berada ditengah arus dua kutub politik yang sedang bersaing. Hanya
kecerdasan dan kecerdikan membaca situasi politik, membuat posisi Indonesia
tidak mudah terperangkap dalam pusaran konflik perang dingin, dan ancaman
kembalinya kolonialisme Belanda.
Didepan sidang Dewan Kemanan PBB tanggal
14 Agustus 1947 Sutan Sjahrir menyampaikan pandangan politik. Ia mengupas
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki budaya dan peradaban lantas
dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, pada forum itu secara cerdas Bung
Sjahrir juga mematahkan argumen-argumen yang disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens.
Melalui jalan politik diplomasi ini, akhirnya Indonesia berhasil merebut
kedudukan sebagai sebuah negara berdaulat dan bermartabat di pentas
internasional.
Pikiran Sjahrir dan Jalan Politik yang diambil Sutan
Sjahrir, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa patriotik dan pemikirannya
yang menjunjung tinggi persamaan derajat setiap manusia. Sutan Sjahrir dengan
tegas menolak segala bentuk totalitarianisme. Baik totalitarianisme kanan dalam
bentuk fasisme, maupun komunisme sebagai wujud totalitarianisme kiri. Keduanya
mengekang kebebasan perorangan yang membuat manusia tidak lebih dari budak
kekuasaan semata.
Menurut Sutan Sjahrir nasionalime harus
berpijak pada demokrasi, karena nasionalisme bisa tergelincir pada fasisme jika
bersekutu dengan feodalisme lokal. Nasionalisme juga bisa menjadi chauvinistik
dalam hubungan internasional, jika tidak dilandasi pemikiran humanistik
(kemanusiaan). Hal ini yang dialami oleh Hitller dan Musolini yang kemudian
menimbulkan Perang Dunia kedua.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Dari materi di atas dapat saya simpulkan bahwa Negara Indonesia
telah mengalami dan menjalani kehidupan perpolitikan yang sangat panjang mulai
dari saat masa-masa penjajahan sampai saat ini.Pada masa-masa Penjajahan atau
pada masa sebelum Indonesia merdeka.Pemikir-Pemikir Politik Indonesia saat itu
sangat banyak permunculan.Mereka bermunculan tuk menuntaskan permasahan yang
membelit bangsa ini,dimana bangsa ini di jajah oleh bangsa lain.
Sutan Sjahrir merupakan salah
satu contoh Tokoh pejuang dan pemikir politik Indonesia pada awal dan sesudah
Indonesia merdeka.Sjahrir merupakan tokoh yang sangat penting dalam sejarah
terbentuknya Negara Republik Indonesia.Sjahrir banyak menyumbangkan
pemikirannya dalam dunia politik Indonesia melalui aliran sosialisnya lebih
tepatnya social democrat.
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Daftar Pustaka
Anwar.Rosihan.(1980).”Mengenang
Sjahrir”,Jakarta:PT.Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar